-->

BUMD Mandul, Inflasi Menggila, Fiskal Melemah: Bukti Lemahnya Strategi Pangan Bobby Nasution

Sebarkan:

 

Gubernur Sumut Bobby Nasution menjawab wartawan usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Sumut pada Senin, 29 September 2025. Istimewa/Hastara.id

MEDAN, HASTARA.ID — Klaim Pemerintah Provinsi Sumatera Utara soal keberhasilan menekan harga pangan lewat ratusan pasar murah ternyata tak berbanding lurus dengan hasil di lapangan. Meski menggelar 524 kali gerakan pangan dan pasar murah sepanjang tahun, inflasi Sumut justru melonjak menjadi yang tertinggi di Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi Sumut pada September 2025 mencapai 5,32 persen (year-on-year), jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 2,65 persen. Kondisi ini menempatkan Sumut sebagai provinsi dengan inflasi paling tinggi di Tanah Air, mengungguli sejumlah daerah dengan tekanan harga serupa.

Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut, Poppy Marulita Hutagalung, berdalih Pemprovsu telah bekerja keras mengendalikan harga pangan melalui pasar murah dan intervensi pasokan.

“Gerakan pangan dan pasar murah masih terus berlangsung. Ini langkah cepat untuk menjaga daya beli masyarakat,” ujar dia dalam temu pers di Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro, Medan, Jumat (10/10).

Sayangnya data dan fakta di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari klaim itu. Harga cabai merah di pasar tradisional Medan masih tembus Rp 90 ribu per kilogram, beras medium Rp 16 ribu, dan bawang merah di atas Rp 45 ribu.

Impor Cabai

Alih-alih memperkuat produksi lokal, Pemprov Sumut justru mendatangkan 50 ton cabai merah dari Jember, Jawa Timur. Langkah ini diklaim sebagai intervensi cepat untuk menstabilkan harga, namun menimbulkan pertanyaan besar: mengapa provinsi penghasil hortikultura harus bergantung pada pasokan luar daerah?

“Kita beli 50 ton dari Jember menggunakan mobil ter-moking dan peti kayu agar kualitas tetap terjaga. Ini intervensi awal untuk menekan harga,” ungkap Poppy.

Meski demikian, kebijakan ini belum berdampak signifikan. Harga cabai di Medan tetap bertahan tinggi di kisaran Rp 80.000/kg, menandakan lemahnya daya kendali pemerintah terhadap mekanisme pasar.

Mandul

Persoalan lain yang mencuat adalah minimnya peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sektor pangan. Padahal, entitas seperti PT Aneka Industri dan Jasa (AIJ) dan PT Dhirga Surya seharusnya bisa menjadi “buffer stock” bagi komoditas strategis seperti cabai dan beras.

"BUMD tidak boleh menolak gabah dari petani, tapi juga harus menjaga agar tidak merugi. Tujuannya menjaga inflasi, bukan menekan petani,” kata Poppy.

Fakta di lapangan, fungsi stabilisasi itu nyaris tak terasa. Petani mengeluhkan anjloknya harga di tingkat produsen, sementara harga di konsumen tetap tinggi — menunjukkan ketimpangan rantai distribusi yang belum tersentuh kebijakan.

Poppy juga mengakui penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2025 akibat berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat. Hal ini, katanya, mempersempit ruang fiskal daerah dalam mengendalikan inflasi.

“Dana transfer dari pusat berkurang, tentu ini berpengaruh terhadap strategi fiskal daerah,” ujarnya.

Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut, Poppy M Hutagalung saat konferensi pers di Kantor Gubernur Sumut, Jumat, 10 Oktober 2025. Hasby/Hastara.id

Pertumbuhan ekonomi Sumut yang tercatat 4,85 persen dinilai belum cukup kuat untuk menahan gejolak harga. Upaya memperkuat produksi lokal, sinergi antarwilayah, dan peran aktif BUMD disebut masih berjalan lambat.

Ironisnya, meski inflasi tinggi, Pemprovsu tetap menilai situasi ini masih dalam batas wajar.

"Inflasi tidak selalu buruk. Kalau disertai peningkatan aktivitas ekonomi, itu tanda pertumbuhan yang sehat,” ujar Poppy.

Pernyataan itu dinilai kontraproduktif di tengah tekanan harga yang justru menurunkan daya beli masyarakat. Inflasi yang disebut “tanda pertumbuhan” justru berpotensi menekan konsumsi rumah tangga — pilar utama ekonomi Sumut.

Kondisi ini menegaskan bahwa kebijakan pengendalian inflasi di Sumut masih terjebak pada reaksi jangka pendek, tanpa strategi struktural yang berkelanjutan. Sementara masyarakat kecil harus terus menanggung mahalnya harga kebutuhan pokok.

Langkah Pemprovsu yang menonjolkan frekuensi pasar murah juga dianggap tidak menyentuh akar persoalan. Banyak kalangan menilai pemerintah daerah lebih sibuk dengan kegiatan seremonial ketimbang memperbaiki sistem produksi dan distribusi pangan yang selama ini menjadi sumber tekanan harga.

“Masalah inflasi di Sumut sudah struktural. Kalau akar masalah seperti rantai pasok dan tata niaga tidak dibenahi, seribu kali pasar murah pun tidak akan efektif,” ujar salah satu ekonom dari Universitas Sumatera Utara, Dr Rahmad Hidayat. 

BPS mencatat, komoditas penyumbang utama inflasi Sumut antara lain beras, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, cabai hijau, dan daging ayam ras. Kenaikan harga cabai menjadi paling tajam dalam tiga bulan terakhir. (has)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini