-->

Penjarahan di Sibolga dan Tapteng, Buntut Hilangnya Kepercayaan Rakyat Pada Pemerintah

Sebarkan:

 

Penampakan aksi penjarahan yang dilakukan warga di Kabupaten Tapteng pada salah satu toko retail setempat, Sabtu, 29 November 2025. Istimewa/Hastara.id 

MEDAN, HASTARA.ID — Gelombang penjarahan yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Sibolga pada Sabtu, 29 November 2025, usai terjangan banjir bandang dan longsor, memunculkan pertanyaan serius tentang akar masalah di balik aksi kolektif tersebut. Bagi sebagian ahli, fenomena ini bukan sekadar persoalan kriminal, tetapi sinyal kuat kegagalan negara memenuhi kebutuhan dasar warga di tengah situasi darurat.

Pengamat sosial Universitas Sumatera Utara (USU), Dr Agus Suriadi, menilai penjarahan lahir dari rangkaian tekanan psikologis, ekonomi, dan buruknya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Ia menyebut warga berada pada kondisi kritis ketika bantuan tak kunjung tiba, sementara akses logistik terputus dan informasi distribusi tidak disampaikan dengan jelas.

“Warga berharap bantuan cepat. Ketika harapan itu gagal dipenuhi, muncul frustrasi yang bisa mendorong tindakan ekstrem,” ujarnya menjawab wartawan, Sabtu (29/11/2025).

Menurutnya, sebagian keluarga sudah hidup dalam kondisi ekonomi rapuh jauh sebelum bencana. Ketika krisis melanda, kebutuhan dasar seperti pangan menjadi prioritas yang tak dapat ditunda. Dalam tekanan bertahan hidup, kata Agus, batas antara kebutuhan dan pelanggaran hukum menjadi kabur.

Agus juga mengungkapkan bahwa pada masa krisis, solidaritas warga sebenarnya cenderung menguat. Namun ketika solidaritas itu tidak diiringi intervensi pemerintah yang cepat dan terukur, ia dapat berubah menjadi aksi kolektif negatif. 

“Warga merasa harus bertindak sendiri demi memenuhi kebutuhan kelompoknya,” ujarnya.

Ia menyoroti turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penanganan bencana kali ini. Keterlambatan bantuan dinilai memperlebar jarak psikologis antara publik dan institusi negara. Dalam kondisi itu, penjarahan tak lagi sekadar tindakan mencari barang, tetapi berubah menjadi bentuk protes sosial.

“Masyarakat akhirnya menilai tindakan itu sebagai satu-satunya cara agar suara mereka terdengar ketika merasa diabaikan,” kata Agus.

Keterlambatan distribusi bantuan pangan membuat warga nekat melakukan aksi penjarahan di toko retail. 

Agus turut menyinggung dimensi trauma yang dialami warga. Kerusakan rumah, akses pangan yang terputus, hingga layanan publik yang lumpuh membuat sebagian warga mengalami tekanan yang mengganggu kemampuan mengambil keputusan rasional. 

“Dalam keadaan putus asa, orang bisa melakukan tindakan di luar kebiasaan,” ungkapnya. 

Ia menegaskan bahwa penjarahan harus dibaca sebagai tanda bahwa sistem penanganan bencana membutuhkan perbaikan menyeluruh. Pemulihan, menurut Agus, tidak cukup hanya mengalirkan logistik, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

“Akar masalahnya harus dipahami, supaya respons bencana ke depan benar-benar lebih cepat dan tepat sasaran,” pungkasnya. 

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun pemda setempat terkait insiden penjarahan tersebut. (prn)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini