![]() |
| Presiden RI Prabowo Subianto menyapa masyarakat Tapanuli Tengah dalam kunjungan kerjanya untuk melihat langsung dampak bencana alam di wilayah itu pada Senin, 1 Desember 2025. Istimewa/Hastara.id |
MEDAN, HASTARA.ID — Desakan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional untuk banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera semakin menguat. Kritik tajam muncul dari berbagai kalangan, termasuk pemerhati kebijakan publik, Farid Wajdi, yang menilai bahwa pemerintah pusat terlalu lama terjebak dalam perdebatan administratif di tengah situasi lapangan yang terus memburuk.
Dalam pernyataannya, Farid menilai perdebatan mengenai status bencana nasional “terlalu lama tersandera oleh kalimat birokratis dan tafsir sempit atas pasal-pasal,” sementara di lapangan warga menghadapi kehancuran yang tak bisa menunggu rapat koordinasi antarlembaga.
“Rumah hilang, jembatan putus, warga terisolasi, dan layanan publik rontok. Pada titik ini, keputusan seharusnya ditentukan oleh nurani, bukan oleh kalkulasi administratif,” tegasnya melalui pernyataan tertulis kepada Hastara.id, Kamis, 4 Desember 2025.
Farid menilai kapasitas pemerintah daerah di sejumlah wilayah terdampak telah kolaps. Akses darat terputus, puskesmas berhenti beroperasi, logistik tersendat, dan ribuan warga bertahan dengan sisa-sisa ketersediaan pangan. Namun di tengah kondisi itu, ia melihat sejumlah pejabat pusat masih bersikap tidak selaras dengan realitas lapangan—bahkan ada yang menyebut situasi “cukup terkendali” atau mengaitkannya dengan “kesan media sosial”.
“Sikap seperti ini memperlihatkan betapa jauhnya menara kekuasaan dari denyut derita rakyat,” ujarnya.
Menurutnya status bencana nasional bukanlah hadiah, bukan pula bentuk kekalahan daerah, melainkan instrumen konstitusional untuk menyelamatkan nyawa.
“Penundaan hanya memperluas luka,” tambahnya.
Farid di sisi lain juga menyoroti merosotnya anggaran penanggulangan bencana tahun ini hingga ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir, di tengah meningkatnya intensitas cuaca ekstrem. Kondisi itu menimbulkan spekulasi publik mengenai prioritas fiskal pemerintah.
“Apakah negara sedang berkutat dengan prioritas lain yang lebih politis daripada menyelamatkan warganya?” ujar mantan Anggota Komisi Yudisial RI tersebut.
Ia lantas membandingkan respons Indonesia dengan negara lain di kawasan seperti Filipina, Thailand, Sri Lanka, hingga Jepang yang memiliki mekanisme otomatis untuk mengalihkan kendali ke pemerintah pusat saat daerah tumbang. Tanpa pertimbangan politik. Tanpa kalkulasi elektoral. Namun di Indonesia, Farid melihat penanganan bencana sering bersinggungan dengan panggung pencitraan.
“Kunjungan pejabat dipenuhi kamera, sementara warga menunggu air bersih dan makanan,” kata Founder Ethics of Care ini.
Farid mendesak Presiden Prabowo Subianto bersama DPR dan MPR untuk menggunakan kewenangannya secara penuh, memotong hambatan birokrasi, dan mengambil alih kendali penyelamatan.
“Tidak ada pasal yang lebih tinggi dari hak hidup rakyat. Sumatera tidak membutuhkan perdebatan panjang. Sumatera membutuhkan negara yang hadir penuh," katanya seraya menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional bukan sekadar prosedur, melainkan deklarasi empati dan tanggung jawab negara.
“Ketika nyawa manusia bergantung pada waktu, keraguan politik hanya menambah korban. Pilihannya jelas: bergerak cepat atau membiarkan rakyat menghadapi bencana sendirian,” demikian Farid Wajdi. (prn)
