![]() |
| Kolase foto banjir bandang menggulung Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 27 November 2025. |
MEDAN, HASTARA.ID — Desakan agar pemerintah menetapkan status Bencana Nasional untuk wilayah terdampak banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali menguat. Aktivis transportasi Ki Darmaningtyas menilai pemerintah pusat lamban dan nyaris tidak menunjukkan empati terhadap korban bencana yang jumlahnya terus melonjak.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Minggu (7/12/2025), terdapat 52 kabupaten/kota terdampak banjir dan longsor, dengan 914 orang meninggal dunia, 389 hilang, serta kerusakan luas pada 155 fasilitas kesehatan, 522 sekolah, 222 gedung pemerintahan, serta 405 jembatan.
“Dengan indikator itu saja, seharusnya status Bencana Nasional sudah otomatis,” ujar Ki Darmaningtyas melalui pernyataan tertulisnya, Minggu (7/12).
Padahal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 mengatur jelas bahwa penetapan status bencana nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat, dengan indikator jumlah korban, kerugian materiil, cakupan wilayah, dan dampak sosial ekonomi.
“Semua indikator terpenuhi. Yang belum muncul hanya kemauan politik pemerintah,” tegasnya. Di tengah situasi krisis, masyarakat justru disuguhi pernyataan sejumlah pejabat yang dinilai tidak peka. Ki Darmaningtyas menilai beberapa komentar pejabat negara justru menyesatkan dan menjauhkan publik dari akar persoalan.
Beberapa pernyataan yang disorot antara lain:
1. Presiden Prabowo Subianto meminta guru menambah pelajaran kesadaran menjaga hutan, seolah penyebab banjir merupakan kelalaian masyarakat. Padahal bukti kayu gelondongan di lokasi banjir menunjukkan adanya penebangan massif berizin. Mengapa justru masyarakat yang disalahkan.
2. Kepala BNPB menyebut banjir “mencekam di media sosial” namun belum masuk skala Bencana Nasional. Padahal ratusan korban jiwa dan tiga provinsi terdampak sudah cukup menjadi alasan kuat.
3. Kementerian Kehutanan menyebut kayu-kayu besar yang hanyut adalah “tumbang alami”, bukan hasil tebang. Pernyataan ini merendahkan intelektualitas publik.
4. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membandingkan protes kerusakan hutan Indonesia dengan negara maju.
“Alih-alih mengambil tanggungjawab, pejabat malah menyindir rakyat,” ujarnya.
Menurut Ki Darmaningtyas, respons pejabat yang terkesan defensif menunjukkan lemahnya empati negara.
“Saat rakyat butuh kehadiran negara, yang muncul justru saling menyalahkan dan pembelaan diri,” katanya.
Banjir bandang sejak 26 November lalu itu melumpuhkan hampir seluruh Aceh. Warga menyebut dampaknya bahkan lebih luas dibanding tsunami 26 Desember 2004, karena kali ini seluruh akses darat lumpuh akibat jembatan putus, listrik padam, dan jaringan komunikasi anjlok. Harga kebutuhan pokok melonjak drastis. Telur tembus Rp90.000 per kilogram, sementara distribusi logistik terhambat total.
“Ironisnya, jaringan internet pertama yang pulih di Aceh justru Starlink, bukan operator milik negara,” kata Ki Darmaningtyas.
Disebutkannya, masyarakat seperti “tidak memiliki pemimpin” karena lambatnya langkah pemerintah daerah maupun pusat. Melihat skala kerusakan yang masif, Ki Darmaningtyas mengusulkan pemerintah membentuk lembaga khusus setara BRR Aceh–Nias (pasca-tsunami 2004). Lembaga ini dinilai penting untuk memobilisasi anggaran lintas kementerian dan mempercepat rehabilitasi infrastruktur vital.
Ia mengajukan tiga rekomendasi mendesak:
1. Presiden Prabowo harus turun langsung ke lokasi bencana untuk memastikan situasi riil dan memberi dukungan moral bagi warga.
2. Penetapan Status Bencana Nasional harus dilakukan secepatnya agar koordinasi lintas lembaga tidak tersendat.
3. Pembentukan Badan Khusus Rehabilitasi Sumatra, yang dapat merelokasi anggaran pembangunan nasional—termasuk proyek-proyek besar di Jawa—untuk fokus pada pemulihan Sumatra.
“Tanpa badan khusus, sulit mengarahkan anggaran lintas K/L karena terikat RPJMN. BRR baru adalah kebutuhan mendesak,” tegasnya.
Ki Darmaningtyas menilai keterlambatan pemerintah dalam menetapkan status bencana hanya akan memperpanjang penderitaan korban.
“Jangan hanya ingat rakyat saat Pilpres, Pemilu, dan Pilkada. Negara harus hadir saat warganya terpuruk. Untuk apa kita punya pemimpin, bila di tengah bencana sebesar ini mereka justru saling lempar tanggungjawab?" pungkasnya. (prn)
