![]() |
| Pengamat kebijakan publik, Elfenda Ananda menyoroti kepemimpinan gaya 'koboy' Bobby Nasution memimpin Provinsi Sumatera Utara. Istimewa/Hastara.id |
MEDAN, HASTARA.ID — Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kembali diguncang gejolak internal. Dua pejabat tinggi, yakni Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Hasmirizal Lubis serta Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan, Zakir Syarif Daulay, dikabarkan mengundurkan diri pada waktu hampir bersamaan.
Langkah keduanya memicu tanda tanya besar di tengah sorotan publik terhadap gaya kepemimpinan 'koboy' Gubernur Bobby Nasution.
Sumber internal Pemprov Sumut mengungkapkan, pengunduran diri Hasmirizal dipicu oleh perlakuan tidak pantas dari Gubernur Bobby dalam sebuah acara resmi.
"Dalam forum itu, Hasmirizal seperti ‘diusir’ secara terbuka,” ungkap sumber yang meminta namanya dirahasiakan.
Kasus ini muncul di tengah rendahnya serapan anggaran, ketegangan birokrasi, dan lemahnya komunikasi gubernur dengan jajaran ASN.
Krisis Etika Kepemimpinan
Merespon ini, pengamat kebijakan publik Elfenda Ananda menilai, pengunduran diri dua pejabat tersebut menjadi sinyal kuat terjadinya krisis kepemimpinan dan budaya organisasi yang tidak sehat di tubuh Pemprov Sumut.
“Ini bukan semata soal pengunduran diri, tapi soal etika kepemimpinan. Tindakan gubernur yang tidak menghormati pejabat senior menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap etika administrasi publik,” ujarnya menjawab wartawan, Senin (20/10/2025).
Elfenda menyinggung gaya kepemimpinan konfrontatif mantan Wali Kota Medan yang dinilai merusak moral aparatur sipil negara.
“Gaya koboy saat menyetop kendaraan dinas di perbatasan Sumut–Aceh beberapa waktu lalu adalah contoh bahwa gubernur gagal memahami batas-batas etika dan simbol jabatan publik,” tegasnya.
Elfenda juga menyoroti lemahnya koordinasi antar-organisasi perangkat daerah (OPD) dan absennya komunikasi publik yang baik dari jajaran Pemprov Sumut.
“Ketika wartawan bertanya, Kepala BKD, Kominfo, dan Inspektorat tidak bisa memberi penjelasan. Itu bukti manajemen krisis dan koordinasi internal sangat lemah,” katanya.
Menurutnya, situasi ini menambah daftar panjang persoalan di Pemprov Sumut: mulai dari OTT pejabat Dinas PUPR, pergeseran anggaran hingga tujuh kali, hingga serapan APBD 2025 yang baru mencapai Rp1,2 triliun dari total Rp4,9 triliun RUP.
“Semua indikator ini menunjukkan disfungsi birokrasi dan lemahnya kontrol kepemimpinan,” ujarnya.
Lebih jauh, Elfenda menilai akar masalah ini telah tampak sejak awal masa jabatan Bobby Nasution.
“Sejak awal, gubernur membawa banyak pejabat dari Pemko Medan ke Pemprov Sumut. Pejabat lama yang tidak patuh digeser dengan mencari celah lewat tangan Inspektorat dan BKD,” ungkapnya.
Ia menegaskan, Inspektorat dan BKD seharusnya menjadi penguat organisasi, bukan alat untuk melegitimasi pergantian pejabat yang dianggap tidak sejalan.
“Kalau ini terus dibiarkan, Pemprov Sumut akan terus tersandera oleh politik birokrasi, bukan profesionalisme ASN,” katanya.
Teguran Pusat
Elfenda menegaskan, Pemprov Sumut wajib menjelaskan secara terbuka alasan dan proses pengunduran diri dua kadis tersebut kepada publik.
“Pemerintah daerah tidak boleh menutup informasi yang menjadi hak publik. Diperlukan protokol komunikasi publik dalam setiap dinamika internal birokrasi,” tegasnya.
Ia juga meminta Presiden Prabowo dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberi perhatian serius terhadap kondisi birokrasi di Sumut.
“Perlu ada teguran keras kepada Gubernur Sumut. Kementerian Dalam Negeri harus melakukan leadership coaching bagi kepala daerah baru, terutama dalam hal etika birokrasi dan komunikasi publik, meskipun Bobby sudah sempat ikut pembinaan di Magelang,” pungkas peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut itu.
Sebelum Hasmirizal Lubis dan Zakir Syarif Daulay, Kadis Kominfo Ilyas Sitorus dan Kepala BKAD, Muhammad Rahmadani Lubis juga mengundurkan diri dari jabatan mereka di lingkungan Pemprov Sumut. (bbs)
