MEDAN, HASTARA.ID — Upaya memperkuat implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memasuki babak baru di Sumatera Utara. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menggandeng Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mengakselerasi penerapan pidana kerja sosial, yang akan mulai diberlakukan pada 2026.
Sosialisasi yang digelar di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur Sumut, Selasa, 18 November 2025, turut dihadiri Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (SesJampidum) Kejagung RI, Dr Undang Mugopal, serta Gubernur Sumut Bobby Nasution, Kajati Sumut Dr Harli Siregar, pimpinan DPRD Sumut, unsur Forkopimda, serta bupati/wali kota se-Sumatera Utara. Puluhan lembaga dan OPD juga mengikuti agenda tersebut.
Dalam kegiatan itu, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara kejaksaan se-Sumut dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota. MoU ini disebut menjadi fondasi kolaborasi dalam menggelar pidana kerja sosial sebagai bentuk sanksi alternatif selain pidana penjara.
Kajati Sumut, Dr Harli Siregar, menegaskan bahwa pidana kerja sosial memberikan pendekatan baru dalam penegakan hukum. Ia menyebut kebijakan ini bukan bentuk pemakluman terhadap kejahatan, melainkan upaya memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri sekaligus memberi manfaat langsung kepada masyarakat.
"Pidana kerja sosial merupakan implementasi penegakan hukum yang memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki diri dan juga memberikan manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Harli juga mengingatkan bahwa penerapan pidana kerja sosial tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada syarat ketat terkait tingkat kejahatan, risiko terhadap masyarakat, serta komitmen pelaku.
"Pada implementasinya, jaksa bersama pemerintah akan mengkaji apakah syarat dan ketentuan telah terpenuhi. Ini penting agar kebijakan tidak menjadi kontraproduktif atau merugikan masyarakat,” tegasnya.
Kendati disambut baik, sejumlah peserta mempertanyakan kesiapan daerah terkait pengawasan, ketersediaan lokasi kerja sosial, dan mekanisme monitoring lintas instansi. Pidana kerja sosial berpotensi menimbulkan masalah baru jika: pengawasan tidak berjalan ketat, pelaksanaannya tidak transparan, atau terjadi kesenjangan antara kabupaten/kota dalam menyiapkan sarana dan regulasi pendukung.
Kegiatan sosialisasi ini menjadi langkah awal membangun sistem terpadu antara kejaksaan dan pemerintah daerah. Dengan waktu efektif satu tahun sebelum aturan berlaku penuh, kesiapan regulasi turunan, anggaran, dan struktur pengawasan dipandang menjadi faktor krusial.
Kejati Sumut menegaskan bahwa keberhasilan penerapan pidana kerja sosial bergantung pada integritas semua pihak dalam memastikan kebijakan ini tetap berada dalam koridor keadilan dan kepentingan publik. (prn)
