JAKARTA, HASTARA.ID — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sebanyak 995 orang. Jumlah ini bertambah lima dari data Kamis (11/12/2025) masih 990 jiwa.
"Sekarang menunjukkan 995 jiwa meninggal dunia di tiga provinsi," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers daring, Jumat (12/11/2025).
Sementara korban hilang di tiga provinsi tersebut sebanyak 226 orang. Total korban hilang meningkat dari sehari sebelumnya masih 222 nama.
"Untuk pengungsi tidak berubah 884.889 jiwa. Ini terus kita dorong logistik dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya," sambung Muhari.
Muhari mengatakan, kemungkinan korban meninggal dunia akibat bencana di Pulau Sumatera akan menurun. Sebab, petugas di tingkat kecamatan mulai melakukan verifikasi data bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
"Perlu kami sampaikan bahwa di tingkat kecamatan sudah dilakukan verifikasi dan sinkronisasi ulang data menurut data sipil by name by address. Mungkin di sini ada terjadi pengurangan," ujar Muhari.
Dia menyebut, dari hasil identifikasi jasad yang ditemukan di wilayah terdampak, sebagian ternyata berasal dari area pemakaman yang cukup luas. Setelah dikonfirmasi melalui catatan sipil, beberapa nama yang sebelumnya masuk daftar korban ternyata sudah meninggal sebelum bencana terjadi.
Muhari mengatakan, proses verifikasi masih berlangsung dan memungkinkan adanya penyesuaian data korban di sejumlah kabupaten.
"Bisa saja, mulai besok di beberapa kabupaten, kami berikan data berdasarkan catatan sipil by name by address," kata Muhari.
Penyebab Banjir di Sumatera
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan sekitarnya sejak 24 November 2025 bukan hanya akibat curah hujan ekstrem.
Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah menyebut bencana besar ini terjadi karena interaksi tiga faktor. Pertama, kondisi atmosfer yang sangat aktif. Kedua, kerusakan lingkungan yang menurunkan daya resap tanah. Terakhir, melemahnya kapasitas tampung wilayah.
Rais Abdillah menjelaskan, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan yang memiliki karakteristik berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.
“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (28/11/2025).
Pada periode tersebut, curah hujan di wilayah lebih dari 150 milimeter. Bahkan ada stasiun BMKG yang mencatat lebih dari 300 milimeter dalam satu hari. Angka itu mendekati curah hujan ekstrem yang menyebabkan banjir besar Jakarta pada 2020.
Selain puncak musim hujan, Rais mengungkap adanya fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem. Pada 24 November, terlihat pusaran atau vortex dari Semenanjung Malaysia yang kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka.
“Siklon ini memang tidak sekuat siklon Samudra Hindia, tetapi cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara,” jelasnya.
Dia menambahkan, indikasi cold surge vortex dan sistem skala meso turut mendorong terbentuknya awan hujan besar sehingga intensitas presipitasi meningkat tajam.
Dari sisi geospasial, penurunan tutupan vegetasi, perubahan fungsi lahan, dan menurunnya kapasitas tampung lingkungan menjadi faktor yang memperburuk kondisi banjir di lapangan.
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menegaskan bahwa besar kecilnya kerusakan akibat hujan tidak hanya ditentukan oleh intensitas curah hujan.
"Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi," ujarnya.
Menurutnya, kawasan berhutan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Jika area tersebut berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka maka kehilangan kemampuan menyerap air.
"Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir," kata Heri.
Dia menilai peta bahaya banjir di Indonesia belum sepenuhnya akurat karena keterbatasan data geospasial dan pemodelan yang belum komprehensif. Padahal, perencanaan tata ruang berbasis risiko sangat penting untuk mencegah bencana serupa terulang. (Liputan6.com)
