-->

Nyali KPK Ciut Sentuh Pemberi Perintah ke Topan Ginting

Sebarkan:

 

Bobby Nasution dan Topan Ginting dalam foto versi artificial intelligence atau AI. Istimewa/Hastara.id

MEDAN, HASTARA.ID — Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Sutrisno Pangaribuan menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berani memeriksa pihak yang diduga menjadi aktor intelektual dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan nasional dan provinsi di Sumatera Utara yang menjerat mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting (TOP).

Sutrisno menilai KPK hanya memfokuskan pemeriksaan kepada aparatur pelaksana dan pihak swasta, sementara figur yang diduga memberi perintah langsung kepada TOP tidak tersentuh.

"TOP dijadikan tumbal. KPK membangun narasi seolah permintaan fee proyek adalah inisiatif TOP atau pihak swasta. Padahal ada pihak berkuasa yang diduga memberi perintah langsung. Orang ini tidak pernah dipanggil,” ujarnya melalui pernyataan tertulis kepada Hastara.id, Jumat (15/8).

Ia menyebut, dalam beberapa hari terakhir KPK telah memeriksa puluhan saksi, termasuk mantan Sekda dan Pj Wali Kota Padangsidimpuan Letnan Dalimunthe, mantan Bupati Mandailing Natal Muhammad Jafar Sukhairi Nasution, perwira menengah Polri AKBP Yasir Ahmadi, serta sejumlah aparat penegak hukum dari kejaksaan.

Sutrisno mengaitkan beberapa nama tersebut dengan lingkaran politik Gubernur Sumut Bobby Nasution, menantu mantan Presiden Joko Widodo. Namun, menurutnya, pemeriksaan KPK masih belum menyentuh akar masalah.

“Ini sudah jelas mengarah pada lingkaran dekat Bobby. Tapi KPK seperti takut. Dalam OTT di Kolaka Timur dan PT Inhutani V, KPK berani menyasar pimpinan tertinggi lembaga. Kenapa di Sumut berhenti di Topan?” tegas Anggota DPRD Sumut periode 2014–2019 tersebut. 

Selain soal alur perintah proyek, Sutrisno juga menyoroti temuan dua pucuk senjata api beserta amunisi saat penggeledahan di kediaman TOP. Ia menegaskan KPK tidak memiliki kewenangan menilai legalitas kepemilikan senjata, sehingga Polri wajib memberikan klarifikasi terbuka.

Menurutnya, Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengatur sanksi berat untuk kepemilikan senjata api ilegal, bahkan bisa dijatuhi hukuman mati.

“Polri harus mengungkap nomor registrasi, asal-usul, dan tujuan penggunaan senjata itu. Jangan diam,” ujarnya.

Sutrisno mendesak KPK, Polri, Gubernur Sumut, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan penjelasan menyeluruh terkait alur perintah proyek, status hukum senjata api, serta alasan pihak tertentu belum dipanggil.

"HUT ke-80 RI seharusnya menjadi momentum membersihkan praktik korupsi tanpa pandang bulu. Jangan sampai publik melihat KPK hanya berani pada kasus kecil, tapi takut pada kasus besar yang menyentuh lingkar kekuasaan,” pungkasnya. (has)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini