-->

Mahasiswa Terdiam, Demokrasi Tertindas: Menolak Aksi Represif di Tengah Gelombang Protes

Sebarkan:

 

Rahman Ar Rafi Pinem. Istimewa/Hastara.id

OLEH: Rahman Ar Rafi Pinem 

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Gelombang demonstrasi pada akhir Agustus 2025 kembali memperlihatkan wajah muram demokrasi kita. Ribuan mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil turun ke jalan dengan tujuan sederhana: menyuarakan keresahan terhadap kebijakan DPR dan pemerintah yang dianggap mengabaikan kepentingan rakyat. Namun, suara itu tidak disambut dengan telinga terbuka, melainkan dihadapkan pada barikade kekerasan. Aparat kepolisian menembakkan gas air mata, membubarkan massa dengan pentungan, bahkan melakukan penangkapan sewenang-wenang. 

Laporan dari berbagai lembaga menyebutkan jatuhnya korban luka hingga korban jiwa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi yang seharusnya dijaga justru semakin menyempit. Sejak awal reformasi, Indonesia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi kembali ke era pembungkaman. Janji itu tertulis jelas dalam konstitusi: kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul adalah hak dasar setiap warga negara. Sayangnya, dua puluh tujuh tahun setelah runtuhnya Orde Baru, praktik represif masih saja menjadi pilihan negara dalam menghadapi perbedaan suara. Ombudsman menilai kekerasan aparat sebagai maladministrasi serius, Amnesty International mengingatkan agar negara tidak mudah menempelkan label makar atau terorisme pada demonstran, sementara Komnas Perempuan mengecam keras jatuhnya korban jiwa, termasuk perempuan. Fakta-fakta ini memperjelas bahwa tindakan represif bukanlah insiden kecil, melainkan krisis serius yang harus segera ditangani. 

Mahasiswa selalu menjadi penjaga nurani bangsa. Sejarah mencatat, dari pergerakan 1908, perlawanan 1966, hingga reformasi 1998, mahasiswa berperan sebagai motor perubahan. Mereka turun ke jalan bukan untuk mencari popularitas, melainkan karena kesadaran moral: ada ketidakadilan yang tidak boleh dibiarkan, ada suara rakyat kecil yang harus diperjuangkan. Dalam konteks Agustus 2025, mahasiswa kembali menempati posisi itu. Mereka mengingatkan bahwa kebijakan DPR dan pemerintah tidak boleh jauh dari kepentingan rakyat Namun, alih-alih didengarkan, mereka dipukul, ditangkap, bahkan dilabeli sebagai pengganggu ketertiban. Inilah ironi terbesar: negara yang lahir dari perjuangan rakyat justru takut mendengar suara rakyatnya sendiri. 

Aksi represif terhadap mahasiswa juga memperlihatkan ketidakseimbangan kekuasaan yang tajam. Aparat keamanan, yang seharusnya mengayomi, kini lebih sering hadir sebagai tangan besi. Ketika polisi memilih pentungan ketimbang dialog, pesan yang sampai ke publik adalah jelas: kritik dianggap musuh, bukan mitra perbaikan. Lebih mengkhawatirkan lagi, keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil mempertegas bahwa pemerintah lebih percaya pada kekuatan militer daripada kekuatan rakyat. Padahal, sejarah telah mengajarkan bahwa kehadiran militer di ranah sipil justru memperdalam luka, memperlebar jarak, dan menimbulkan trauma baru. 

Kita harus bertanya dengan jujur: sampai kapan demokrasi kita dibiarkan rapuh seperti ini? Demokrasi tidak berhenti pada pemilu lima tahunan. Demokrasi hidup dari ruang ruang di mana rakyat bebas menyampaikan aspirasi, dari jalanan tempat mahasiswa bisa bersuara tanpa rasa takut, dari ruang kelas tempat ide ide kritis tumbuh, dan dari media yang berani menuliskan kebenaran. Setiap kali aparat memukul mahasiswa, yang terluka bukan hanya tubuh mereka, melainkan jiwa demokrasi kita bersama. 

Ada setidaknya empat alasan mengapa represi terhadap mahasiswa harus ditolak. Pertama, represi adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar. Hak berpendapat bukan hadiah dari penguasa, melainkan hak bawaan setiap warga negara. Kedua, represi merugikan kemajuan bangsa. Suara mahasiswa adalah sumber gagasan segar dan kritik konstruktif yang bisa memperbaiki sistem. Menutup ruang itu berarti membiarkan kesalahan terus berulang tanpa koreksi. Ketiga, represi mematikan kreativitas generasi muda. Mahasiswa adalah laboratorium ide bangsa, dan jika kreativitas itu ditekan, kita kehilangan peluang untuk melahirkan solusi atas tantangan besar yang dihadapi negara. Keempat, represi merusak citra Indonesia di mata dunia. Sorotan media internasional atas kerusuhan Agustus 2025 mengingatkan kita bahwa dunia memperhatikan. Membiarkan represi berulang hanya akan melemahkan posisi Indonesia sebagai negara demokratis di tingkat global. 

Menolak represi bukan berarti menolak ketertiban. Justru sebaliknya, ketertiban sejati hanya lahir dari keadilan. Negara yang adil tidak akan takut pada suara rakyat. Sebaliknya, negara yang takut pada rakyatnya hanya akan terus menerus bergantung pada kekerasan untuk mempertahankan legitimasi. Karena itu, ada beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan. Pertama, reformasi kepolisian harus dijalankan secara serius, bukan hanya jargon. Polri harus kembali pada fungsi dasarnya sebagai pengayom, dengan akuntabilitas dan kontrol sipil yang kuat. Kedua, TNI harus ditarik dari ranah sipil. Kehadiran militer dalam pengamanan demonstrasi hanya memperparah eskalasi dan mengembalikan bayang bayang masa lalu. Ketiga, pemerintah dan DPR harus berhenti melihat kritik sebagai ancaman. Kritik adalah cermin yang justru bisa menunjukkan kekurangan dan memberi kesempatan untuk memperbaikinya. Ruang dialog inklusif harus dibuka, dan suara mahasiswa harus ditempatkan sebagai mitra, bukan musuh. 

Perlu kita sadari pula bahwa represi bukan hanya soal benturan fisik, tetapi juga soal trauma sosial yang ditinggalkan. Setiap kali mahasiswa dipukuli di jalanan, generasi muda lainnya belajar bahwa menyuarakan kebenaran berisiko besar. Akibatnya, lahirlah generasi yang apatis, takut bersuara, dan kehilangan keberanian untuk mengkritik. Inilah bahaya terbesar dari represi: bukan hanya melukai yang berjuang hari ini, tetapi juga membunuh keberanian generasi esok. Jika ini terus berlanjut, bangsa kita akan kehilangan energi moral untuk memperjuangkan perubahan. 

Oleh karena itu, menolak aksi represif terhadap mahasiswa bukan sekadar keberpihakan pada kelompok tertentu, melainkan keberpihakan pada masa depan bangsa. Mahasiswa adalah suara perubahan, suara perlawanan terhadap ketidakadilan, dan suara harapan bagi generasi mendatang. Jika suara mereka dibungkam, demokrasi kita kehilangan denyut nadi terpentingnya. Sebaliknya, jika suara mereka dijaga, dihargai, dan didengar, maka kita masih memiliki harapan untuk memperbaiki bangsa ini. 

Mari kita bersama-sama menjaga ruang demokrasi agar tetap hidup. Dukungan terhadap mahasiswa bukanlah dukungan pada kerusuhan, melainkan dukungan pada kebenaran, keadilan, dan masa depan bangsa. Hanya dengan menghentikan represi, membuka ruang dialog, dan memperkuat kepercayaan rakyat pada negara, Indonesia bisa melangkah maju sebagai negara demokratis yang bermartabat. Mahasiswa terdiam, demokrasi tertindas. Saatnya kita bersatu menolak represi dan menegakkan keadilan! (*)


***Penulis merupakan Ketua Komisariat GMNI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.






Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini