![]() |
Potret seorang pengemudi ojol tewas menggenaskan dalam kericuhan demonstrasi di Jakarta belum lama ini. Foto Artificial intelligence atau AI. |
OLEH: Defriansyah Manik
Hukum kausalitas mengajarkan kita bahwa setiap sebab akan melahirkan akibat. Prinsip sederhana ini sejatinya berlaku pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan, ucapan, bahkan sikap seorang pemimpin tidak berdiri sendiri; ia akan menimbulkan dampak yang nyata, baik berupa kepercayaan maupun kekecewaan rakyat.
Karena itu, siapa pun yang berada di lingkaran kekuasaan seharusnya berhati-hati dalam bertindak. Kesombongan dan sikap jumawa bukanlah pakaian yang pantas dikenakan seorang pemimpin. Apalagi ketika kondisi ekonomi rakyat kian sulit, lapangan kerja terbatas, harga kebutuhan pokok melonjak, dan rasa keadilan masih terasa jauh panggang dari api. Ketidakpekaan terhadap situasi ini hanya akan menambah luka sosial dan memicu ledakan emosi publik yang berujung fatal bagi bangsa.
Kita baru saja menyaksikan peristiwa memilukan: wafatnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, dalam kericuhan aksi demonstrasi di Jakarta. Ia, yang sejatinya pejuang nafkah keluarga, tewas mengenaskan akibat kendaraan taktis yang seharusnya digunakan untuk melindungi rakyat, bukan sebaliknya. Tragedi ini adalah potret betapa tipisnya garis antara kekuasaan yang melindungi dan kekuasaan yang melukai.
Di tengah ketidakpastian geopolitik global dan ancaman perang di berbagai belahan dunia, Indonesia memerlukan kendali kepemimpinan yang arif. Semua pihak harus menahan diri. Aparat mesti menegakkan hukum dengan adil, bukan represif. Elit politik hendaknya peka terhadap denyut kehidupan rakyat kecil, bukan sibuk menjaga kepentingan kelompok.
Harapan kini tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Dengan sejarah panjang perjuangannya, dengan kegigihan yang membuatnya akhirnya dipercaya rakyat, Presiden mesti membuktikan kepemimpinannya benar-benar berpihak pada mayoritas: rakyat lemah yang kini terbebani hidup. Sudah saatnya mengambil kebijakan tegas, mengakhiri praktik ilegal yang merajalela, memberantas mafia, sekaligus memastikan aparat dan institusi negara kembali pada fungsi sejatinya: melindungi rakyat.
Pemimpin adalah teladan. Ia bukan hanya pengambil keputusan, melainkan pula penanggung jawab moral atas kondisi bangsa. Karena itu, luka yang ditinggalkan aksi demonstrasi mesti segera disembuhkan—baik dengan memberi keadilan bagi korban, membebaskan mereka yang ditahan hanya karena menyampaikan aspirasi, maupun menindak pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan.
Di bulan kemerdekaan ini, bangsa Indonesia merayakan usia 80 tahun republik. Pertanyaannya: pantaskah tragedi, luka sosial, dan keresahan ekonomi menjadi kado ulang tahun negeri?
Presiden memegang mandat penuh rakyat. Kini saatnya membuktikan bahwa kepemimpinan bukanlah soal kuasa, melainkan soal amanah. Bila hukum kausalitas benar adanya, maka kebijakan yang bijak hari ini akan melahirkan masa depan bangsa yang lebih kokoh dan adil. (*)
***Penulis merupakan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara.