![]() |
Herly Puji Mentari Latuperissa dicopot dari jabatan Sekretaris Dinas Koperasi dan UKM Sumut. Istimewa/Hastara.id |
MEDAN, HASTARA.ID — Keputusan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution mencopot Herly Puji Mentari Latuperissa dari jabatan Sekretaris Dinas Koperasi dan UKM, memunculkan sorotan tajam. Pencopotan itu bukan hanya karena aksi sepele seperti bermain handphone (HP) saat pengarahan gubernur, melainkan deretan pelanggaran serius yang mencoreng wajah birokrasi.
Dalam Surat Keputusan Gubernur Sumut Nomor 188.44/653/KPTS/2025 yang diteken 10 September 2025, Puji dijatuhi hukuman disiplin berat dan diturunkan menjadi staf biasa di UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah I. Salinan keputusan yang beredar di kalangan wartawan, Kamis (18/9/2025), mengungkap sederet pelanggaran etik dan penyalahgunaan jabatan.
Selain bermain HP, Puji disebut terbukti melakukan pungutan liar, meminta sesuatu dengan mengatasnamakan jabatan, hingga mewajibkan tamu membawa kado dalam acara pribadi. Ia juga dilaporkan memerintahkan tenaga outsourcing membersihkan rumah pribadinya tanpa upah, melakukan kekerasan verbal maupun fisik kepada bawahan, serta gagal menunjukkan integritas dan keteladanan seorang pejabat.
Tak berhenti di situ, Puji juga tercatat mengikuti seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di Pemko Medan tanpa izin pejabat pembina kepegawaian.
Kini, jabatan Sekretaris Diskop UKM Sumut sudah diisi oleh T Yudhi Media sebagai Pelaksana Tugas (Plt). Puji hanya singkat mengakui telah menerima SK pencopotannya, namun menolak berkomentar lebih jauh dengan alasan "menyangkut kebijakan pimpinan".
Meski keputusan tegas ini diapresiasi, publik bertanya-tanya mengapa berbagai dugaan pelanggaran yang begitu serius baru diungkap setelah sekian lama. Apakah pengawasan internal selama ini lemah? Ataukah kasus ini hanya mencuat setelah ada momen politik tertentu?
Kepala Badan Kepegawaian Sumut Sutan Tolang Lubis dan Inspektur Provinsi Sumut, Sulaiman Harahap yang seharusnya memberi penjelasan soal lemahnya pengawasan birokrasi, hingga kini belum menjawab konfirmasi wartawan.
Ke depan, publik menuntut agar pencopotan ini tidak berhenti sebagai langkah kosmetik. Dugaan pungutan liar, penyalahgunaan wewenang, hingga eksploitasi tenaga kerja seharusnya ditindaklanjuti lebih jauh oleh aparat penegak hukum. Jika tidak, publik bisa menilai pencopotan ini hanya sebagai 'hukuman pindah meja' tanpa efek jera. (has)