-->

Target Kinerja Jaksa Agung Harus Proporsional, Jangan Sampai Timbulkan Kriminalisasi

Sebarkan:

 

Mantan Inspektur Provinsi Sumatera Utara, OK Henry saat diwawancarai wartawan di sebuah cafe di Kota Medan, beberapa waktu lalu. Hasby/Istimewa


OLEH: Dr OK Henry, MSi

AMBISI Jaksa Agung dalam mempercepat pemberantasan korupsi, memulihkan aset negara, hingga mengawal proyek strategis nasional patut diapresiasi. Target besar itu mencerminkan tekad untuk menghadirkan kejaksaan yang lebih progresif dan tegas. Namun, di balik semangat tersebut, muncul kekhawatiran serius dari daerah, terutama atas pola penanganan perkara oleh Kejaksaan Negeri (Kejari).

Fenomena yang kerap terlihat belakangan ini adalah Kejari semakin gencar mengekspos kasus dugaan tindak pidana korupsi, meski persoalan yang ditangani masih bersifat administratif atau dapat diselesaikan lewat mekanisme perdata dan kontraktual. 

Pekerjaan tumpang tindih, keterlambatan adendum kontrak, atau selisih pembayaran dalam laporan audit BPK sering kali langsung diperlakukan sebagai kerugian negara absolut. Padahal, dalam praktik audit, temuan seperti ini lazimnya diselesaikan melalui pengembalian dana atau mekanisme administratif lainnya.

Ketika setiap temuan audit dipaksa masuk ke ranah pidana, risiko kriminalisasi pun tak terhindarkan. Bukan hanya pejabat, kontraktor pun rentan kehilangan nama baik, usaha, dan masa depan, bahkan sebelum ada putusan pengadilan. Prinsip praduga tak bersalah yang seharusnya menjadi pondasi hukum pidana sering kali tergerus oleh publikasi perkara yang terburu-buru. Begitu ada konferensi pers Kejari, opini publik pun terbentuk: tersangka dianggap sudah pasti bersalah.

Padahal, asas ultimum remedium jelas menempatkan pidana sebagai jalan terakhir. Bila kerugian sudah dikembalikan atau permasalahan sekadar administratif, mekanisme administratif seharusnya lebih diutamakan. Penegakan hukum yang adil adalah yang mampu membedakan antara kesalahan prosedural dan perbuatan memperkaya diri secara melawan hukum.

Kejaksaan memang dituntut untuk bekerja cepat dan keras. Tetapi, target perkara jangan sampai menggeser orientasi dari substansi hukum menjadi sekadar angka statistik. Hukum tidak boleh berubah menjadi alat ekspos sensasi, melainkan tetap sebagai instrumen keadilan.

Kita percaya, keberhasilan Jaksa Agung dalam membenahi kejaksaan tidak semata diukur dari banyaknya orang yang ditetapkan tersangka, melainkan dari bagaimana hukum ditegakkan dengan integritas, proporsionalitas, dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Tanpa itu, kejaksaan berisiko kehilangan legitimasi di mata publik dan hanya dianggap sebagai lembaga yang mengejar popularitas.

Penegakan hukum sejati bukanlah soal banyaknya kepala yang dipenggal, tetapi bagaimana keadilan dirasakan tanpa harus mengorbankan prinsip dan martabat manusia. Apalagi Presiden Prabowo Subianto telah memisahkan kementerian hukum dan hak asasi manusia (HAM), yang artinya menurut saya beliau sangat serius dalam mewujudkan cita-cita Indonesia adil dan makmur. (*)


***Penulis merupakan Kepala Inspektorat Provinsi Sumatera Utara 2016-2019


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini