![]() |
| Kajatisu Harli Siregar bersama jajaran saat ekspos uang hasil dugaan tipikor penjualan aset negara senilai Rp150 miliar di Kantor Kejatisu Jalan AH Nasution, Medan, Rabu (22/10/2025). Hasby/Istimewa |
MEDAN, HASTARA.ID — Kasus dugaan korupsi lahan proyek 'raksasa' Kawasan Deli Megapolitan seluas 8.077 hektar di Sumatera Utara dinilai berjalan pincang. Hingga kini, proses hukum disebut belum menyentuh para petinggi di PTPN 1 Regional 1 maupun perusahaan patungan PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR) — entitas hasil kolaborasi PTPN 1 dengan PT Ciputra KSPN.
Padahal, menurut sejumlah pemerhati, justru para petinggi di dua korporasi itulah yang diduga menjadi “pemain utama” dalam pengalihan aset negara bernilai triliunan rupiah tersebut.
“Penyitaan dana Rp150 miliar dari PT DMKR sebagai bagian dari perpindahan HGB atas aset negara sudah cukup menunjukkan adanya mens rea atau niat jahat,” ujar pemerhati anti korupsi di Sumut, Andi Nasution, Kamis (23/10/2025).
Andi menyoroti langkah Kejati Sumut yang menyebut dana Rp150 miliar itu sebagai pengembalian ke negara. Ia mengkhawatirkan penyitaan tersebut justru menjadi dalih bagi aparat penegak hukum untuk menghentikan pengusutan lebih lanjut.
“Jangan sampai penyitaan itu membuat kasus ini berhenti di tengah jalan. Harus diungkap apakah dana Rp150 miliar itu berasal dari keuntungan penjualan properti PT DMKR, atau dari hasil pengalihan lahan milik negara dengan harga murah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Andi mengungkapkan indikasi kuat adanya rekayasa korporasi dalam pengelolaan lahan tersebut. Ia menyebut PT Nusa Dua Propertindo (NDP) — anak usaha PTPN 2 — diduga menjadi 'perusahaan cangkang' yang dijadikan sarana untuk memindahkan aset negara secara sistematis.
“PTPN 2 tidak mungkin mengubah status HGU aktif menjadi HGB. Karena itu dibentuklah PT NDP sebagai kendaraan. Tapi perusahaan ini diduga hanya di atas kertas. Sejak berdiri 2014, tidak ada aktivitas signifikan, asetnya minim, bahkan jumlah karyawannya pun bisa dihitung jari,” ungkapnya.
Andi menjelaskan, PTPN 2 melakukan penyertaan modal (imbreng) lahan seluas 8.077 hektar kepada PT NDP, dan dari total tersebut, sekitar 2.480 hektar sudah dilepas dengan nilai Rp625,17 miliar. Namun, angka itu disebut jauh di bawah nilai pasar.
Janggal dan Merugikan Negara
Kejanggalan semakin tampak dari nilai tanah yang di-imbreng-kan. Berdasarkan akta, harga tanah di kawasan yang kini menjadi perumahan CitraLand Helvetia hanya tercatat Rp161 ribu per meter. Padahal, nilai pasar di wilayah tersebut sudah menembus jutaan rupiah per meter.
“Lebih parah lagi, di lokasi lain yang masih dalam HGU sama, nilai tanah hanya Rp29 ribu sampai Rp31 ribu per meter. Ini sangat tidak masuk akal untuk kawasan strategis di sekitar Medan,” ujar Andi.
Ironinya, menurut dia, PTPN 2 justru melakukan imbreng di atas lahan yang sudah dihuni ribuan masyarakat dan berdiri bangunan komersial, termasuk kompleks pergudangan.
“Ini bisa memicu konflik agraria baru di lapangan,” tambahnya.
Andi juga menyoroti struktur kepemilikan PT DMKR, yang dianggap merugikan negara. Dalam perusahaan patungan tersebut, PT Ciputra KPSN menguasai 75% saham, sedangkan PTPN 2 hanya 25%.
“Dengan komposisi seperti itu, jelas keuntungan besar akan lari ke swasta, sementara BUMN hanya jadi penonton. Ini bentuk pengkhianatan terhadap aset negara,” tegasnya.
Seruan ke Presiden
Andi mendesak agar Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan memastikan kasus ini tidak berhenti pada level bawah. Ia menilai praktik semacam ini berpotensi menggerogoti kepercayaan publik terhadap program reformasi agraria yang telah diatur dalam Perpres Nomor 62 Tahun 2023.
“Kasus ini menyentuh jantung pengelolaan tanah negara. Presiden harus memastikan penegakan hukum berjalan transparan dan menyeluruh,” pungkasnya. (has)
