Oleh: DEDI SINUHAJI
PASAR TRADISIONAL di Kota Medan, yang jumlahnya mencapai 52 unit di bawah naungan PUD Pasar, kini berada pada persimpangan jalan. Ia masih menjadi tempat utama bagi sebagian masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, tetapi realitasnya tak bisa dipungkiri, kondisinya kini jauh dari kata ideal.
Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, bahkan secara terbuka menyebut kondisi pasar tradisional saat ini 'sedang tidak baik-baik saja'.
Ungkapan itu bukan hiperbola. Penurunan daya beli masyarakat dan pergeseran perilaku belanja ke arah pasar modern maupun platform digital membuat pasar tradisional kian tertekan. Omset pedagang turun, aktivitas transaksi menyusut, dan semangat ekonomi rakyat seakan tergerus.
Ironisnya lagi, kontribusi pasar tradisional terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru sangat rendah. Dari 52 pasar yang dikelola, tahun 2024 hanya menghasilkan sekitar Rp600 juta. Angka ini tentu kontras dengan potensi yang dimiliki.
Kritik keras dari wakil rakyat di DPRD Medan pun wajar mengemuka akan hal itu. Bagaimana mungkin pasar dengan ribuan pedagang, ribuan transaksi harian, hanya mampu menyumbang angka sekecil itu?
Sudah pasti, pertanyaan ini menyasar langsung pada tata kelola PUD Pasar sendiri yang dinilai belum profesional dan transparan dalam pengelolaan pasar tradisional di Medan.
Masalah klasik lainnya adalah sarana dan prasarana. Lihat saja Pasar Sei Sikambing. Tumpukan sampah di luar lokasi pasar menimbulkan bau menyengat, lalat beterbangan, dan mengurangi kenyamanan pengunjung. Belum lagi akses parkir yang sempit, fasilitas umum yang rusak, hingga penataan pedagang yang amburadul. Bukannya menjadi pusat aktivitas ekonomi yang hidup, pasar justru berubah menjadi titik keluhan warga setempat. Kondisi tersebut hampir merata disemua pasar.
Namun, di tengah persoalan itu, ada secercah upaya perbaikan mulai dilakukan. Walikota Medan,Rico Waas bersama PUD Pasar mulai mengajak pedagang mengikuti pelatihan penjualan daring, bekerja sama dengan mitra digital seperti Gojek dan Tokopedia.
Hal ini langkah awal positif, karena jika pedagang pasar tradisional mampu memanfaatkan ekosistem digital, mereka tidak lagi terkungkung pada pola jual beli konvensional. Tetapi langkah digitalisasi ini hanya akan berdampak nyata jika dibarengi dengan pembenahan fisik, tata kelola, serta pengelolaan retribusi yang bersih.
Opini ini berpijak pada satu hal sederhana. Pasar tradisional tidak boleh ditinggalkan. Ia bukan sekadar tempat transaksi jual beli semata, melainkan ruang sosial yang merekatkan interaksi antarwarga. Pasar Tradisional adalah wajah ekonomi kerakyatan yang harus dijaga dari ancaman stagnasi dan penggusuran oleh kelompok kapital besar.
Karena itu, Pemerintah Kota Medan bersama PUD Pasar perlu melakukan langkah luar biasa, yakni Restorasi menyeluruh. Perbaikan sarana, sistem retribusi yang transparan, kebersihan yang konsisten, serta digitalisasi yang inklusif harus seiring berjalan beriringan. Tanpa itu semua, pasar tradisional hanya akan jadi cerita lama yang perlahan akan hilang ditelan zaman.
Saatnya kita sadar, membiarkan pasar tradisional terpuruk sama saja dengan membiarkan ekonomi rakyat merana. Sebaliknya, membangunkannya berarti menghidupkan kembali denyut nadi ekonomi kerakyatan di Kota Medan. (**)
***Penulis merupakan pemerhati pasar tradisional yang berdomisili di Kota Medan.