Diduga Ada Penyalahgunaan Wewenang Pejabat PUD Pasar Medan Atas Alih Fungsi Bekas Pasar Aksara

Sebarkan:

 

Lahan eks Pasar Aksara Jalan Prof HM Yamin, Medan kini 'disulap' jadi cafe mewah. Publik masih terus menyoroti alih fungsi pendayagunaan aset milik PUD Pasar Medan tersebut. Hasby/Hastara.id 

MEDAN, HASTARA.ID — Polemik soal eks lahan Pasar Aksara di Jalan Prof. HM Yamin, Medan, 'disulap' jadi cafe mewah masih terus menjadi buah bibir dan menuai sorotan publik. 

Wali Kota Medan, Rico Waas, diminta turun tangan langsung untuk menyelesaikan polemik ini, sebab selain diduga adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat Perusahaan Umum Daerah (PUD) Pasar Medan, juga nilai sewa kerjasamanya tergolong minim sebagai penopang kas daerah bagi pemerintah kota. 

"Kami menemukan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan ketidakpatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan dalam sewa-menyewa lahan eks Pasar Aksara Medan," ujar Sekretaris Wilayah LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sumatera Utara, Andi Nasution kepada wartawan, Jumat (13/6). 

Sewa menyewa lahan tersebut, lanjut Andi Nasution, tidak sesuai dengan Perda No.4/2021 tentang Perusahaan Umum Daerah (PUD) Pasar Kota Medan dan Permendagri No.7/2024 tentang Perubahan atas Permendagri No.19/2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. 

"Pasal 71 ayat 5 Perda No.4/2021 menyebutkan, pendayagunaan ekuitas harus mendapat persetujuan KPM (Kepala Daerah) atas pertimbangan Dewan Pengawas. Sewa-menyewa aset itu termasuk dalam kategori pendayagunaan ekuitas, sehingga harus membutuhkan persetujuan Wali Kota Medan selaku KPM (pemilik)," ujarnya. 

Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) Permendagri No.7/2024, lanjut Andi, besaran sewa barang milik daerah ditetapkan oleh kepala daerah dalam hal ini Wali Kota Medan. Betul memang PUD Pasar merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, namun karena BUMD itu seratus persen milik Pemko Medan maka asetnya merupakan Barang Milik Daerah (BMD). 

“Kemudian nilai sewa-menyewa harus melalui tim penilai, baik dari internal maupun eksternal. Jika persetujuan KPM saja tidak ada, besar kemungkinan nilai sewa menyewa tidak melalui mekanisme tim penilai," ujarnya. 

Karenanya Andi Nasution menduga kuat proses sewa menyewa lahan eks Pasar Aksara tersebut, tidak memenuhi unsur tata kelola perusahaan yang baik, yakni asas akuntabilitas sebagaimana amanat Perda No.4/2021. 

“Akuntabilitas legal seharusnya merujuk pada tanggungjawab dalam mematuhi peraturan dan perundang-undangan. Kondisi inilah yang menyebabkan persoalan sewa menyewa lahan eks Pasar Aksara tersebut wajib dibatalkan," terangnya. 

Apabila Wali Kota Rico Waas tidak membatalkannya, lanjut Andi, bakal menimbulkan persepsi buruk bahwa orang nomor satu di Pemko Medan tersebut juga tidak taat hukum. 

"Hal ini akan memunculkan krisis kepercayaan publik terhadap Rico Waas," pungkasnya.

Pengamat kebijakan anggaran, Elfenda Ananda, mengkritik transparansi dan akuntabilitasnya alih fungsi lahan tersebut sangat rendah. Bahkan nilai sewa Rp105/tahun yang berlangsung selama lima tahun dinilai rendah dan hanya menguntungkan segelintir orang. 

"Dari sisi nilai sewa Rp105 juta/tahun untuk lahan seluas 4.000 meter persegi di lokasi strategis (Jalan Prof HM Yamin) untuk durasi 5 tahun, harusnya ada penjelasan kenapa harga muncul dengan nominal segitu," tuturnya saat dimintai pendapat, Jumat (13/6). 

Elfenda juga mempertanyakan bagaimana angka itu muncul, apakah ada pembanding wilayah di sekitar dengan luas yang kurang lebih sama, atau sudah pantaskah harga tersebut dilihat dari sisi strategisnya wilayah tersebut untuk bisnis.

"Jika dibandingkan dengan potensi pendapatan kafe mewah, nilai sewa ini terkesan sangat rendah dan dapat menimbulkan kecurigaan adanya kerugian bagi keuangan daerah. Perlu dilakukan penelusuran harga untuk perbandingan dengan harga sewa lahan komersial sejenis di Medan untuk menilai kewajaran angka ini. Hal ini untuk memastikan dari sisi harga dapat dipertanggungjawabkan dan tidak merugikan Pemko Medan," papar mantan Sekretaris Eksekutif FITRA Sumut ini. 

Meskipun disebut ada perjanjian kontrak kerjasama, menurutnya tetap tidak ada informasi detail mengenai proses penunjukan Tengku Ma'moon Al Rasjid sebagai pengelola kafe. Apakah ada proses lelang atau tender yang transparan dan kompetitif terkait hal itu. 

"Seharusnya aset daerah yang dikelola oleh PUD Pasar mekanismenya tetap menggunakan aturan perundang-undangan dalam mekanisme sewa menyewa aset. Jika ini penunjukan dilakukan secara langsung tanpa proses terbuka, hal ini bisa menimbulkan kecurigaan akan adanya praktik kolusi atau nepotisme. Sebenarnya, siapa Tengku Ma'moon Al Rasjid ini? Dan hubungannya apa dengan elit pengambil keputusan. Kenapa kok tiba-tiba dia bisa mendapatkan hak sewa tanpa ada proses yang terbuka kepada publik soal sewa menyewa aset?" ungkap Elfenda. 

Selanjutnya, durasi kontrak lima tahun untuk pembangunan kafe permanen seperti itu tergolong singkat. Mengingat biaya yang dikeluarkan untuk membangun kafe tentunya bagian nilai yang akan dihitung. Klaim bahwa ada mekanisme perpanjangan dengan pihak yang sama setelah lima tahun habis juga perlu dicermati. 

"Bisa saja sebenarnya adanya skema jangka panjang yang tidak sepenuhnya transparan sejak awal, dan dapat menghambat peluang bagi pihak lain untuk bersaing setelah kontrak awal berakhir. Hal ini perlu menjadi perhatian publik agar tidak ada ketertutupan dalam hal kontrak yang lima tahun," katanya. 

Masih kata Elfenda, meskipun Perda No.4/2021 memberikan kewenangan kepada PUD Pasar untuk bekerjasama dalam bentuk sewa-menyewa aset, perlu dipastikan apakah seluruh mekanisme dan prosedur internal telah dipatuhi sepenuhnya. Pengawasan dari Dewan Pengawas (Sekda Kota Medan) juga penting untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang. 

"Walaupun dalam penyampaian disebutkan telah melapor kepada Dewan Pengawas yakni sekda. Meskipun lahan diklaim milik PUD Pasar sejak 1993, lahan bekas pasar seringkali dianggap sebagai aset publik yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas," ujarnya. 

Pembangunan kafe mewah, meskipun legal secara kontrak, bisa jadi tidak sejalan dengan harapan atau kebutuhan masyarakat sekitar, terutama jika lahan tersebut sebelumnya digunakan untuk kegiatan ekonomi rakyat yang sebenarnya lebih membutuhkan aset eks pasar aksara tersebut. 

"Hal ini akan berdampak pada kesenjangan sosial dan akan menjadi kontroversi bagi Sebagian kelompok Masyarakat," pungkas Elfenda. (has)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini