![]() |
Pengamat Pendidikan di Sumut, Farid Wajdi (kiri) me-warning Kadisdik Sumut, Alexander Sinulingga soal penerapan lima hari sekolah mulai tahun ajaran 2025/2026. Istimewa |
Pengamat pendidikan di Sumut, Farid Wajdi, menilai kebijakan tersebut harus peka terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat Sumut secara keseluruhan. Menurutnya kebijakan lima hari sekolah memang memiliki berbagai tujuan positif.
Kadisdik Sumut sebelumnya menyebutkan bahwa program ini diharapkan dapat mencegah aksi tawuran, geng motor, dan penyalahgunaan narkoba. Dengan adanya libur akhir pekan pada Sabtu dan Minggu, para siswa diharapkan dapat lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, sehingga memperkuat pengawasan orang tua dan membangun karakter anak sejak dini.
Program ini juga diharapkan mampu mendorong sektor pariwisata dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Sumut. Dengan adanya waktu luang di akhir pekan, potensi masyarakat untuk berwisata dan berbelanja diprediksi meningkat, yang pada gilirannya dapat menggerakkan roda ekonomi lokal.
Sekali lagi Farid mengingatkan bahwa asumsi tersebut perlu diuji secara lebih kritis.
“Tidak semua keluarga memiliki daya beli yang cukup untuk beraktivitas rekreatif setiap akhir pekan,” ujarnya menjawab wartawan, Rabu (4/6).
Ia menilai bahwa bagi sebagian keluarga dari kelompok ekonomi bawah, hari libur justru bisa menjadi ruang kosong yang tidak produktif, bahkan berpotensi memicu konflik domestik jika tidak dikelola dengan baik.
Farid mengakui secara teori kebijakan ini sejalan dengan kajian psikologi perkembangan yang menekankan pentingnya kelekatan anak dengan orang tua dalam pembentukan moral dan perilaku sosial. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan ini membutuhkan infrastruktur sosial yang memadai agar manfaatnya dapat dirasakan secara lebih merata.
“Perlu ada program di tingkat komunitas, rumah ibadah, atau balai desa yang bisa memberikan aktivitas positif bagi anak-anak, baik di bidang keagamaan, olahraga, maupun kesenian, tanpa membebani ekonomi keluarga,” ucap Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020 ini.
Selanjutnya keterlibatan aktif pemerintah daerah dan sektor swasta dalam menyediakan sarana rekreasi murah dan terjangkau juga menjadi syarat penting agar manfaat ekonomi dari kebijakan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.
“Lima hari sekolah bukanlah solusi tunggal untuk persoalan remaja atau ekonomi daerah,” tegas Farid yang menilai kebijakan ini hanya akan efektif jika didukung strategi lintas sektor yang terintegrasi dan sensitif terhadap keragaman kondisi masyarakat.
“Di titik itulah mimpi untuk menciptakan generasi muda yang sehat, berkarakter, dan produktif dapat perlahan menjadi kenyataan—bukan hanya bagi mereka yang mampu, tetapi juga bagi semua,” pungkasnya. (has)