Dosen UMSU Kritik Aturan Penerimaan Mahasiswa Baru PTN, Sebut PTS Kian Terjepit

Sebarkan:

 

Dosen FKIP UMSU, Yulhasni, menyampaikan kritik tajam terhadap regulasi yang dikeluarkan Kemendikbudristek RI. Istimewa/Hastara.id

MEDAN, HASTARA.ID — Kebijakan baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) soal penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) mendapat sorotan dari kalangan akademisi. 

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Yulhasni, menyampaikan kritik tajam terhadap regulasi tersebut karena dinilai bisa mengancam keberlangsungan perguruan tinggi swasta (PTS).

Kritik itu disampaikan Yulhasni merespon terbitnya Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 dan revisinya Permendikbudristek Nomor 62 Tahun 2023 yang mengatur proporsi penerimaan mahasiswa baru melalui tiga jalur: 20 persen minimal untuk SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), 40 persen minimal untuk SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes), dan maksimal 30 persen untuk jalur mandiri.

“Regulasi ini mendorong PTN untuk lebih banyak menerima mahasiswa dari jalur seleksi nasional terpusat, yang notabene mempersempit ruang gerak PTS dalam menjaring mahasiswa, khususnya dari jalur mandiri,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (18/7/2025).

Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi mengalihkan calon mahasiswa potensial yang biasanya memilih PTS, karena PTN kini lebih terbuka dan bahkan menawarkan biaya pendidikan yang kompetitif.

Di tengah menurunnya minat lulusan SMA/SMK untuk melanjutkan pendidikan tinggi serta tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat, Yulhasni menilai kebijakan tersebut justru memperberat beban PTS. Ia mengingatkan bahwa ketimpangan antara PTN dan PTS bisa semakin lebar jika tidak ada upaya menyeimbangkan ekosistem pendidikan tinggi secara nasional.

“Kami meminta Kemendikbudristek meninjau kembali aturan ini. Harus ada kebijakan yang menjaga keseimbangan dan mencegah jurang ketimpangan makin dalam. Jangan sampai PTS yang selama ini berperan dalam pemerataan akses pendidikan tinggi, justru semakin terpinggirkan,” tegasnya.

Yulhasni menyoroti tidak adanya mekanisme distribusi calon mahasiswa yang adil dan proporsional antara PTN dan PTS. Negara, kata dia, seolah membiarkan sistem seleksi berjalan tanpa arah yang jelas, tanpa zonasi, kuota nasional, atau subsidi silang yang mampu menyeimbangkan daya tampung dan daya dukung institusi pendidikan.

“Akibatnya, banyak PTS terpaksa menutup program studi, merumahkan dosen, atau bahkan gulung tikar karena kekurangan mahasiswa baru,” ungkapnya.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses seleksi di PTN, khususnya jalur mandiri yang dinilai rawan disalahgunakan. 

“PTN, apalagi yang dibiayai dana publik, harus secara terbuka mengumumkan kuota, jumlah pendaftar, rasio kelulusan, hingga mekanisme seleksi. Jalur mandiri juga harus diawasi ketat agar tidak menjadi ruang gelap komersialisasi pendidikan,” pungkas Yulhasni. (has/rel)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini