-->

Bencana Alam 2025 Terbesar Dalam Sejarah Sumatera Utara

Sebarkan:

 

Kolase foto banjir dan longsor menerjang Kabupaten Tapteng, Tapsel, Sibolga, dan Madina. Istimewa/Hastara.id 

MEDAN, HASTARA.ID — Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara sejak akhir November hingga awal Desember 2025 kian menegaskan skala krisis yang jauh lebih besar dibanding perkiraan awal pemerintah. 

Data terbaru yang dirilis BPBD Sumut pada Kamis (4/12) pukul 09.00 WIB justru membuka celah pertanyaan baru: berapa sebenarnya kerugian total dari salah satu bencana terbesar dalam satu dekade terakhir ini?

Laporan BPBD Sumut mencatat 444.623 kepala keluarga atau 1.682.825 jiwa terdampak, menjadikan bencana ini sebagai salah satu dengan jangkauan populasi terdampak terbesar dalam sejarah Sumut.

Sebanyak 40.355 jiwa masih mengungsi, sementara angka korban jiwa kembali melonjak menjadi: 307 orang meninggal, 646 luka-luka, dan 167 orang hilang. Angka-angka ini diperkirakan belum final mengingat beberapa wilayah masih terisolasi.

Meski dampaknya masif, BPBD mengakui banyak data kerusakan belum sepenuhnya terhimpun. Sejumlah sektor strategis—mulai dari perumahan, kesehatan, perbankan hingga layanan publik—belum memiliki angka kerugian pasti.

Fakta bahwa sektor perumahan, yang paling dekat dengan kebutuhan dasar warga, belum menampilkan nilai kerugian, memicu tanda tanya besar: apa yang sebenarnya terjadi dalam proses pendataan?

Kerusakan fisik terlihat paling jelas pada infrastruktur dasar:

•24 ruas jalan dan 88 titik kerusakan, kerugian: Rp 60,65 miliar

•4 jembatan rusak

•Belasan tanggul jebol

Di sektor sumber daya air, kerusakannya justru lebih parah:

•8 daerah irigasi terdampak seluas 2.482 hektare

•5 bendung, 5 saluran irigasi, 13 titik tanggul rusak. Kerugian: Rp 85,5 miliar

PDAM Tirtanadi juga mengalami gangguan pada 13 cabang layanan, berpotensi memicu krisis air bersih di berbagai kabupaten/kota.

Daratan pertanian Sumut ikut terdampak paling luas:

•34.290 hektare lahan rusak

•4.196 hektare puso total. Kerugian mencapai Rp 828,8 miliar dan belum termasuk: Perkebunan: 33.316 hektare terdampak (nilai kerugian belum dihitung): 

Peternakan: 110.914 ekor ternak terdampak (nilai kerugian belum dihitung). Angka sementara ini menempatkan sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar kerugian, bahkan sebelum sektor lain dihitung.

Sementara di sisi fasilitas publik yang lumpuh, jumlahnya mencapai ratusan. Di sektor pendidikan: 374 sekolah rusak, terdiri dari SD: 263, SMP: 32, SMK: 25, SMA/SM: 51, SLB: 3. Kerugian ditaksir Rp 210,6 miliar. 

Selanjutnya 188 rumah sakit, 350 puskesmas, dan 1.006 pustu masih dalam proses pendataan. Sebanyak 54 rumah ibadah juga dilaporkan rusak, namun nilai kerusakannya belum dirilis.

Hingga Kamis pagi, BPBD Sumut baru dapat memastikan sebanyak 40.784 unit rumah terdampak, tetapi belum satu pun nilai kerugian dipublikasikan. Ketidakhadiran data ini menjadi sorotan karena perumahan adalah sektor paling kritis bagi pemulihan warga.

Episentrum di Tapteng dan Madina

Data BPBD menempatkan kerusakan paling parah terdiri dari wilayah Tapteng, Tapsel, dan Madina, Dairi, Humbang Hasundutan, Simalungun, Deli Serdang, dan Kota Medan (untuk sektor banjir). Topografi curam dan curah hujan ekstrem menjadikan kawasan ini pusat kerusakan dan korban. Dari seluruh sektor, nilai kerugian sementara yang baru berhasil dihitung adalah:

•Infrastruktur jalan: Rp 60,65 miliar

•Sumber daya air: Rp 85,5 miliar

•Pendidikan: Rp 210,6 miliar

•Pertanian: Rp 828,8 miliar. Total sementara: Rp 1,18 triliun.

Namun angka ini diyakini hanya “puncak dari gunung es”, mengingat sektor perumahan, kesehatan, air bersih, perkebunan, peternakan, dan perbankan—yang kerugiannya besar—belum dihitung.

Dengan ratusan ribu warga terdampak dan banyak wilayah masih terisolasi, publik menunggu lebih dari sekadar angka—mereka menanti kepastian, kecepatan penanganan, dan keberanian pemerintah menetapkan arah kebijakan yang jelas. (prn)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini