Rangkap Jabatan Wakil Menteri: Ujian Etika di Tengah Kekuasaan

Sebarkan:


Mantan Anggota Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi. Istimewa/Hastara.id

OLEH: FARID WAJDI 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini kembali menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri (wamen) sebagai komisaris BUMN maupun perusahaan swasta. Meskipun permohonan uji materi yang diajukan tidak dapat diterima karena pemohonnya telah meninggal dunia, MK tetap menyampaikan pertimbangan hukum yang sangat penting: jabatan wakil menteri tunduk pada prinsip yang sama dengan jabatan menteri—yakni tidak boleh merangkap posisi lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Pernyataan MK bukan sekadar tafsir hukum administratif. Di balik itu tersimpan pesan mendalam tentang integritas, etika, dan tanggung jawab pejabat publik. 

Persoalan rangkap jabatan telah lama menjadi perbincangan, terutama ketika sejumlah pejabat tinggi negara merangkap posisi strategis di perusahaan pelat merah, yang seharusnya diawasi oleh kementerian tempat mereka sendiri bekerja. Situasi ini menciptakan ruang abu-abu antara kepentingan publik dan kepentingan korporasi.

Secara hukum, larangan rangkap jabatan bertujuan menjaga netralitas dan profesionalitas pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Seorang wakil menteri, meski bukan pejabat setingkat menteri secara hierarki, tetap memiliki akses strategis terhadap kebijakan, anggaran, dan keputusan penting yang menyangkut pengelolaan negara.

Jika dalam saat yang sama menjabat sebagai komisaris BUMN, muncul potensi tumpang tindih kepentingan: antara tugas sebagai pelayan negara dan posisi sebagai pengawas korporasi yang bisa mendapatkan insentif finansial.

Etika jabatan publik seharusnya menuntut pengabdian penuh. Publik menaruh ekspektasi tinggi kepada pejabat tinggi negara untuk menjaga komitmen pada kepentingan bersama, bukan membagi perhatian antara urusan negara dan urusan perusahaan.

Rangkap jabatan dalam konteks ini bukan hanya soal pelanggaran norma hukum, tetapi juga pelanggaran etika dan rasa keadilan publik. Lebih dari itu, keputusan MK juga menjadi cermin penting tentang batas-batas kuasa dalam pemerintahan.

Kekuasaan yang dijalankan tanpa pengawasan etis akan mudah tergelincir ke dalam praktik-praktik eksklusif yang merugikan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam hal ini, publik berhak menuntut agar pejabat negara tidak hanya patuh terhadap hukum, tetapi juga menjunjung tinggi nilai moral dan kenegarawanan. Respons terhadap putusan MK tersebut kini menjadi ujian bagi para wakil menteri yang diketahui masih merangkap jabatan komisaris. 

Melepaskan jabatan tersebut secara sukarela akan menunjukkan kedewasaan politik dan penghormatan terhadap konstitusi. Sebaliknya, mempertahankan dua posisi sekaligus menunjukkan resistensi terhadap nilai-nilai etis yang seharusnya menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Presiden, sebagai kepala pemerintahan, juga memiliki peran strategis dalam menegakkan etika birokrasi.

Ketegasan dalam merespons putusan ini bukan hanya soal pelaksanaan hukum, melainkan juga upaya membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kebijakan yang eksplisit, yang melarang rangkap jabatan di lingkungan eksekutif, akan menjadi langkah afirmatif yang dinanti.

Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik seharusnya tidak berada dalam posisi memilih antara hukum dan etika. Keduanya seharusnya berjalan beriringan. Sayangnya, dalam praktik, masih banyak yang berpegang pada batas hukum formal dan mengabaikan aspek moral yang melekat pada jabatan publik. 

Padahal, ukuran kepemimpinan bukan semata kepatuhan terhadap aturan, tetapi kemauan untuk melampaui batas minimal demi menjaga integritas jabatan.

Putusan MK ini tidak hanya menjadi pengingat konstitusional, tetapi juga undangan untuk refleksi kolektif di tengah merosotnya kepercayaan terhadap elite kekuasaan.

Jabatan publik adalah amanah, bukan privilese. Pejabat yang benar-benar memahami makna pengabdian tentu tahu kapan harus memilih—dan kapan harus mundur demi kehormatan jabatan itu sendiri. (*)


*** Penulis merupakan Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini