-->

Pakai Dana Desa untuk Gang Pribadi, Pengamat: Kades Asyhari Syah Bisa Dipidana

Sebarkan:

 

Kantor Desa Percut Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang. Pengelolaan dana desa di Desa Percut sedang menjadi sorotan publik. Istimewa/Hastara.id

MEDAN, HASTARA.ID — Penggunaan dana desa kembali disorot. Di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, program pembangunan gang dengan dana desa menuai polemik. Sejumlah warga menilai proyek pemasangan paving block di kawasan tersebut sarat kepentingan pribadi karena dibangun di gang menuju rumah kepala dusun dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Warga mempertanyakan dasar hukum dan proses perencanaan proyek itu. Mereka menduga, dana publik yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan umum justru dimanfaatkan untuk memperbaiki akses pribadi aparatur desa.

“Dana desa itu berasal dari uang rakyat. Maka manfaatnya harus kembali kepada rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi,” kata pengamat transparansi anggaran publik, Elfenda Ananda menjawab wartawan, Kamis (16/10/2025).

Menurutnya, penggunaan dana desa untuk fasilitas pribadi jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, khususnya Pasal 78 yang menegaskan penyelenggaraan pemerintahan desa wajib berasaskan kepentingan umum dan akuntabilitas.

“Kalau gang itu tidak termasuk fasilitas publik dan hanya menuju rumah perangkat desa, maka itu termasuk penyalahgunaan anggaran dan berpotensi pidana korupsi,” ujarnya.

Persoalan makin meruncing setelah warga mengajukan permintaan resmi untuk memperoleh dokumen Berita Acara Musyawarah Dusun (Musdus) serta Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek tersebut. Namun, permohonan itu tidak direspon oleh Kepala Desa Percut, Asyhari Syah, SAg. 

Langkah warga itu, menurut Elfenda, sebenarnya sah dan dijamin oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

“Warga berhak tahu ke mana uang desa digunakan. Menolak memberikan dokumen publik tanpa dasar hukum adalah pelanggaran keterbukaan informasi dan bisa dikenai sanksi administratif maupun pidana,” tegas mantan Sekretaris Eksekutif Forum Transparansi Anggaran untuk Indonesia (FITRA) Sumatera Utara ini. 

"Pasal 52 UU KIP bahkan menyebut, pejabat publik yang dengan sengaja menghambat akses informasi publik dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp5 juta," imbuh Elfenda. 

Kepala Desa Percut, Asyhari Syah, SAg. Istimewa/Hastara.id

Potensi Pidana

Kabar yang beredar di lapangan menyebut, ada dugaan manipulasi hasil Musdus dengan mencantumkan nama warga yang sebenarnya tidak pernah mengusulkan proyek paving block tersebut. Jika benar, menurut Elfenda tindakan itu dapat dikategorikan pemalsuan dokumen negara, yang diatur dalam Pasal 263 KUHP dengan ancaman pidana hingga enam tahun penjara.

“Kalau dokumen itu digunakan untuk mencairkan dana desa, berarti bukan hanya pemalsuan surat, tapi juga penyalahgunaan wewenang dan potensi tindak pidana korupsi,” kata dia. 

Pemerintah desa disebut beralasan bahwa proyek itu merupakan 'permintaan warga'. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, yang dimaksud warga hanya keluarga dekat kepala dusun.

“Alasan seperti itu tidak bisa dibenarkan. Semua usulan pembangunan harus melalui proses musyawarah berjenjang dan memenuhi asas kemanfaatan umum,” ucapnya. 

Lebih lanjut ia menilai, jika masih ada gang lain yang lebih prioritas secara kebutuhan publik namun diabaikan, maka kebijakan pembangunan gang pribadi tersebut jelas melanggar asas keadilan dan prioritas manfaat publik. Ia mendorong Pemerintah Kabupaten Deli Serdang turun tangan menindaklanjuti dugaan penyimpangan tersebut.

“Bupati harus memerintahkan Inspektorat kabupaten melakukan audit khusus terhadap APBDes dan proyek paving block di Desa Percut,” ujarnya. 

Selain itu, Bupati Asri Ludin Tambunan juga diminta menegakkan sanksi terhadap Kepala Desa Percut yang terkesan menutup informasi publik, serta mendorong digitalisasi laporan Musyawarah Desa agar dapat diakses secara daring.

“Desa bukan milik keluarga, tapi milik warga. Transparansi anggaran bukan ancaman bagi kepala desa yang bersih, tapi cermin bagi yang mau berbenah,” demikian Elfenda. 

Kasus di Desa Percut menambah daftar panjang persoalan transparansi dana desa di Sumut. Dalam banyak kasus, lemahnya pengawasan publik dan minimnya keterbukaan informasi menjadi celah subur bagi praktik penyalahgunaan wewenang. Ketika uang rakyat dikelola tanpa kontrol, maka desa yang seharusnya menjadi basis kesejahteraan justru berubah menjadi arena kepentingan pribadi. (has)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini