![]() |
| Akademisi FKIP UMSU, Yulhasni, menilai banyak praktik PjBL yang diterapkan di lapangan sudah kehilangan arah. Istimewa/Hastara.id |
MEDAN, HASTARA.ID — Implementasi Project Based Learning (PjBL) atau Pembelajaran Berbasis Proyek di berbagai sekolah mulai menuai kritik tajam. Model pembelajaran yang sejatinya dirancang untuk memperkuat kompetensi siswa melalui proyek bermakna, kini justru dianggap menyimpang dari esensi pendidikan itu sendiri dan berubah menjadi beban finansial bagi orang tua.
Akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Yulhasni, menilai banyak praktik PjBL yang diterapkan di lapangan sudah kehilangan arah. Ia menyoroti kegiatan sekolah yang membebankan biaya tinggi kepada siswa, seperti studi tur dan praktik renang berbayar, yang kerap dilakukan atas nama proyek pembelajaran.
“PjBL itu mestinya berfokus pada integrasi kurikulum dan pengembangan keterampilan siswa. Bukan malah mengarah ke kegiatan komersial atau pungutan biaya wajib yang tidak transparan,” ujar Yulhasni melalui pernyataan tertulisnya, Sabtu (8/11/2025).
Menurutnya, praktik pemaksaan biaya dalam kegiatan PjBL terutama yang tidak disertai pertanggungjawaban terbuka, bisa menimbulkan kecurigaan adanya pungutan liar (pungli). Hal tersebut, kata dia, tidak hanya mencederai prinsip keadilan akses pendidikan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Yulhasni menegaskan, evaluasi menyeluruh terhadap substansi dan pelaksanaan PjBL sangat diperlukan. Ia mengkritik kegiatan seperti studi tur yang sering kali kehilangan makna edukatif karena tidak memiliki keterkaitan yang jelas dengan kurikulum.
“Seringkali kegiatan itu hanya berakhir sebagai wisata tanpa tujuan pembelajaran yang terukur. Akibatnya, siswa justru kehilangan fokus akademik,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar sekolah tidak terjebak dalam tren proyek yang berlebihan atau berisiko.
“Model PjBL yang baik harus menggunakan sumber daya yang tersedia dan terjangkau. Jika sebuah proyek justru menimbulkan risiko keselamatan atau beban finansial signifikan, maka sekolah wajib mencari alternatif yang lebih inklusif dan aman,” tegasnya.
Yulhasni juga mendesak Dinas Pendidikan agar memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan PjBL di sekolah. Ia menilai transparansi dan akuntabilitas perlu dijadikan standar utama agar tujuan pendidikan tidak tergelincir ke arah praktik bisnis berkedok kurikulum.
“Proyek pembelajaran harus memperkuat pemahaman dan karakter siswa — bukan menggugurkan kewajiban kurikulum lewat kegiatan mahal yang sarat kepentingan,” pungkasnya. (red)
