-->

Lumpur Hilang, Utang Berbilang

Sebarkan:

 

Penampakan salah satu desa di Kabupaten Tapanuli Tengah sangat parah terdampak bencana alam longsor dan banjir bandang. Istimewa/Hastara.id

OLEH: Rizanul Arifin

Ketika air surut, yang tertinggal bukanlah awal yang baru, melainkan arsip lengkap sebuah dosa kolektif. Lumpur itu bukan sekadar tanah bercampur air. Ia adalah konsentrat dari segala yang kita biarkan terjadi, pupuk kimia dari perkebunan sawit yang menggantikan hutan rawa, sisa oli dan gemuk dari alat-alat berat penambang liar, kotoran manusia dan hewan dari saluran yang tak pernah diurus, serta partikel-partikel kayu yang ditebang sebelum waktunya.

Rumah-rumah berdiri seperti kuburan ingatan. Kulkas yang dulu penuh, kini peti mati bagi makanan basi. Lemari kayu jati, warisan nenek, melempem dan berjamur, aromanya adalah parfum kegagalan. Surat-surat berharga—ijazah, sertifikat tanah, surat nikah—melebur menjadi bubur kertas, seolah alam sedang mengajari kita sebuah pelajaran pahit, bahwa segala klaim kepemilikan dan pencapaian manusia bisa luluh dalam semalam oleh sesuatu yang kita anggap "kotor."

Lalu datanglah fase kedua, penyakit. Malaria dan DBD bukan lagi isu kesehatan biasa, melainkan debt collector dari nyamuk-nyamuk yang populasinya meledak di kubangan air tergenang. Infeksi kulit, diare, leptospirosis—semua itu adalah "pajak" yang harus dibayar tubuh karena bersentuhan dengan lumpur yang kita ciptakan sendiri. Ironinya, klinik desa yang atapnya bocor itu tenggelam total. Puskesmas lumpuh karena generator dan obat-obatan hanyut. Rumah sakit rujukan? Jalannya putus, atau ruang gawat daruratnya sendiri penuh lumpur.

Di kota, para ahli sibuk menghitung kerugian. Mereka menyebut angka triliunan rupiah. Angka itu bergaung di media, lalu menguap. Tapi coba kita hitung dengan mata orang dusun, sebuah keluarga kehilangan rumah senilai 100 juta, plus ternak, plus padi di lumbung, plus motor untuk mencari nafas. Total mungkin 150 juta. Mereka tidak punya asuransi. Penghasilan per tahun mungkin 10 juta. Butuh 15 tahun kerja tanpa makan untuk kembali ke titik nol. Itu jika tidak sakit.

Di sinilah lelucon tragisnya dimainkan. Angka triliunan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca banjir itu, dengan sangat mungkin, melebihi seluruh pendapatan negara dari sektor-sektor yang justru menjadi biang kerok bencana. Izin penebangan kayu di hutan lindung yang dijual murah? Hasilnya mungkin cuma beberapa miliar untuk segelintir orang. Izin perkebunan skala besar yang mengubah daerah resapan menjadi monokultur rakus air? Pajaknya mungkin tidak seberapa dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki bendungan yang jebol akibat sedimentasi dari lahannya.

Kita seperti seorang manajer toko yang menjual rak penyimpanan seharga 50 ribu rupiah, lalu harus membayar 5 juta rupiah karena rak itu rubuh dan merusak semua barang di toko. Atau seperti seorang ayah yang menjual fondasi rumahnya untuk uang malam ini, lalu besoknya mengumpulkan sumbangan untuk membeli kembali fondasi itu dengan harga sepuluh kali lipat.

Pasca banjir, kita disibukkan oleh drama penyelamatan, pembagian sembako, dan pencarian kambing hitam—biasanya "curah hujan ekstrem" atau "ulah masyarakat yang buang sampah sembarangan." Sangat jarang kita duduk di tengah puing, menghirup aroma lumpur yang menusuk, dan mengakui dengan jujur, Lumpur ini adalah cermin. Ia memantulkan bayangan kita yang serakah, yang mengira menguras alam adalah cara cepat menjadi kaya, tanpa sadar bahwa kita sebenarnya hanya meminjam dengan bunga yang sangat, sangat tinggi.

Rehabilitasi berbulan-bulan? Itu hukuman penjara yang kita jalani di rumah sendiri, dandengan  biaya yang besar pula? Itu adalah tagihan yang akhirnya datang. Tagihan dari sebuah sistem yang memandang hutan sebagai komoditas, sungai sebagai saluran pembuangan, dan manusia sebagai angka yang bisa direlokasi.

Air surut. Tapi lumpur dan utangnya tetap di sana, menunggu untuk diakui, atau… ditimbun lagi dengan proyek rehabilitasi yang gegabah, untuk memulai siklus yang sama. Karena kadang, kita lebih memilih menjadi tawanan dalam siklus bencana yang familiar, daripada membebaskan diri dengan mengakui kesalahan yang tidak populer. (*)

***Penulis merupakan jurnalis di Sumatera Utara


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini