![]() |
| Kondisi di Pidie Jaya pasca bandang menerjang pada Minggu (30/11/2025). Acehonline.co/Bahri |
BANDA ACEH, HASTARA.ID — Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala (USK) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia yang berisi desakan tegas agar pemerintah pusat mempercepat pembukaan akses dan koordinasi logistik bantuan kemanusiaan internasional menyusul bencana hidrometeorologi besar yang melanda Sumatera, khususnya Aceh, pada akhir November 2025.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Dewan Profesor USK, Prof Dr Ir Izarul Machdar, MEng., para akademisi menilai kondisi di lapangan telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan serius yang membutuhkan respons cepat, terkoordinasi, dan melibatkan dukungan internasional secara optimal.
Berdasarkan data BNPB dan laporan media nasional, bencana tersebut telah menelan sekitar 1.006 korban jiwa di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ratusan korban lainnya masih dinyatakan hilang atau terluka, sementara ratusan ribu warga mengungsi akibat rusaknya puluhan ribu rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur dasar.
“Di Aceh saja tercatat 332 titik jembatan rusak, ribuan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rumah ibadah terdampak. Banyak wilayah terputus total dari akses transportasi dan komunikasi,” tulis Dewan Profesor USK dalam surat terbukanya.
Kondisi tersebut diperparah oleh gangguan jaringan telekomunikasi dan pemadaman listrik berkepanjangan, yang menghambat koordinasi penyelamatan, distribusi bantuan, hingga operasional fasilitas kesehatan. Aktivitas ekonomi masyarakat pun lumpuh, terutama sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Menurut Dewan Profesor USK, kerusakan infrastruktur vital ini telah membuat distribusi bantuan ke wilayah terpencil nyaris terhenti, sementara cuaca ekstrem berpotensi masih berlanjut sebagaimana peringatan BMKG.
Sebelas Rekomendasi Strategis
Menanggapi situasi tersebut, Dewan Profesor USK menyampaikan 11 rekomendasi strategis kepada presiden, di antaranya:
•Menetapkan status darurat bencana nasional secara komprehensif.
•Mempercepat pembukaan jalur akses utama—bandara, pelabuhan, dan jalan raya—untuk masuknya bantuan kemanusiaan internasional.
•Mendirikan Humanitarian Logistics Coordination Center di Aceh yang melibatkan BNPB, kementerian terkait, pemerintah daerah, TNI/Polri, serta perwakilan lembaga internasional.
•Menyederhanakan prosedur perizinan dan clearance bagi organisasi kemanusiaan internasional seperti WHO, UNICEF, UNDP, IFRC, dan IOM, termasuk efisiensi bea cukai dan karantina bantuan.
•Mengaktifkan sistem pelacakan logistik terpadu (common logistics tracking) agar distribusi bantuan dapat dipantau secara real-time.
•Mengoptimalkan staging areas logistik di titik strategis seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Bener Meriah.
•Memprioritaskan pemulihan listrik dan telekomunikasi, serta akses darat yang terputus.
•Menjamin ketersediaan transportasi darat, laut, dan udara, termasuk helikopter dan alat berat untuk wilayah terisolasi.
•Mengundang kerja sama teknis internasional dalam manajemen rantai pasok darurat.
•Menegaskan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan.
Pemerintah Belum Maksimal
Dalam catatan kontekstualnya, Dewan Profesor USK menyinggung bahwa Pemerintah Aceh telah mengajukan permintaan bantuan kepada lembaga PBB seperti UNDP dan UNICEF. Namun, hingga kini pemerintah pusat dinilai belum sepenuhnya mengaktifkan mekanisme penerimaan bantuan internasional, dengan alasan kapasitas nasional masih mencukupi.
“Fakta di lapangan menunjukkan kebutuhan yang sangat besar dan mendesak. Keterlambatan respons dan koordinasi berpotensi meningkatkan korban jiwa serta dampak kesehatan jangka panjang,” tegas mereka.
Surat terbuka ini menjadi peringatan keras dari kalangan akademisi agar negara tidak terlambat mengambil keputusan strategis. Dewan Profesor USK menegaskan, keterbukaan terhadap bantuan internasional bukanlah bentuk kelemahan, melainkan tanggungjawab moral dan kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. (red)
